Pemilu 1955

Pemilu Tahun 1955

Selembar foto hitam-putih memerlihatkan deretan orang yang antre di depan bilik suara. Salah seorang di antaranya tampak lebih menonjol: ia berkopiah, berkacamata dan bertubuh lebih tinggi dari yang lain. Dialah Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama yang juga sedang menunggu giliran masuk kamar.

Peluang Liverpool Gaet Xabi Alonso Mengecil

 

Foto tersebut, dengan deretan antrean yang mengular,  menunjukan antusias rakyat terhadap pesta demokrasi pertama yang diselenggarakan setelah Indonesia merdeka. Ada 29 partai politik dan individu yang menjadi peserta pemilihan umum. Sementara itu hak memilih diberikan bagi seluruh warga negara Indonesia berusia di atas 18 tahun atau paling tidak sudah kawin.

Netizen Murka Disebut Suara Paslon 02 Nol: Mungkin Aku yang Dimaksud Angin Tak ber-KTP

 

Inilah pemilihan umum  pertama yang diadakan secara nasional, setelah pengalaman yang minim pada pemilihan umum propinsi dan kotapraja di era kolonial. Sebelum Perang Dunia Kedua meletus, pemerintah kolonial Belanda menyelenggarakan pemilihan anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang sama sekali tidak memberikan pengalaman demokrasi buat para penyelenggara republik yang baru ini. Walau miskin pengalaman, hajatan nasional 1955 itu sukses besar. Di sanjung para petinggi dunia.

Pemudik Harus Hati-hati, Ada 19 Perlintasan Kereta Api di Brebes Tanpa Palang Pintu 

 

Sesungguhnya pemilihan umum ini sudah direncanakan sejak dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Pada 5 Oktober 1945 pemerintah mengumumkan tentang rencana pelaksanaan Pemilu, dan pada 1946 Pemilu sempat diselenggarakan di Karesidenan Kediri dan Surakarta.

 

Agresi militer Belanda, iklim politik yang panas dingin  pada masa revolusi dan penyelesaian terhadap agresi militer Belanda yang bertele-tele menyebabkan pemilu terus tertunda. Perhatian para pemimpin republik terfokus pada menyelesaikan sengketa dengan Belanda di meja perundingan.

 

Menyusul hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, Indonesia menjadi negara yang berdaulat sepenuhnya. Bentuk federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang menjadi salah satu kesepakatan KMB tidak berumur panjang. Negara-negara federal bikinan Belanda pada akhirnya mau tak mau mengikuti kehendak umum  kelompok nasionalis. Maka  meleburkan Negara-negara federasi itu ke dalam negara kesatuan.

 

Sejak 1950 berbagai kabinet yang silih berganti memerintah gagal memenuhi janjinya untuk menyelenggarakan Pemilu. Pertikaian militer versus sipil pada peristiwa 17 Oktober 1952 menmbuat situasi politik dalam negeri terus mendidih. Kabinet koalisi PNI-Masjumi-PSI yang dipimpin Wilopo sebetulnya sudah goyah dengan berbagai persoalan politik yang terjadi baik di dalam maupun di luar parlemen. Tuntutan pembubaran parlemen oleh sekelompok militer dalam peristiwa 17 Oktober 1952 yang kemudian ditolak oleh Presiden Soekarno, perlahan beralih menjadi isu penyelenggaraan pemilu.

 

Pada November 1952 Kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-undang pemilihan umum baru. Dia mendapat sokongan dari beberapa kalangan, termasuk mereka yang terkenal vokal dan aktif secara politis. Undang-undang pemilihan umum ini meniru apa yang telah dilakukan di India pada 1951-1952. Sistem perwakilan proporsional diajukan kepada parlemen dan disetujui secara aklamasi. Undang-undang tersebut membagi Indonesia ke dalam 16 daerah pemilihan. Pendaftaran pemilih mulai dilaksanakan pada Mei 1954 dan baru selesai pada November. Ada 43.104.464 pemilih yang memenuhi syarat masuk bilik suara.

 

Kabinet Wilopo berakhir dan digantikan oleh Ali Sastroamidjojo. Namun belum lagi Pemilu diselenggarakan, krisis politik mendera Kabinet Ali Sastroamidjojo yang membuatnya terpental jatuh. Kabinet Ali Sastroamidjojo digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dari Masjumi. Pemilu baru berhasil diselenggarakan di bawah pemerintahan Burhanuddin Harahap.

 

Menurut George McTurnan Kahin, pemilu 1955 tersebut begitu penting sebab dengan itu kekuatan partai-partai politik terukur lebih cermat dan parlemen yang dihasilkan lebih bermutu sebagai lembaga perwakilan. Sebelum pemilu, parlemen selalu menjadi sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan suksesnya pemilu karena kabinet berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai persoalan.

 

Karena belum ada lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke tingkat desa. Di banyak pedesaan petugas pemilihan umum dipercayakan kepada panitia-panitia yang malahan sama sekali tak bisa membaca.

 

Dalam waktu-waktu terakhir menjelang pelaksanaan Pemilu, panitia disibukkan dengan pelatihan pemungutan suara di seluruh wilayah pemilihan. Penduduk juga diajak terlibat aktif di dalam persiapan kegiatan pemilu. Mereka diperkenalkan dengan tanda gambar dan cara menyoblos kertas suara.

 

Partai-partai berjuang untuk merebut simpati rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk menentukan pilihannya.

 

Dengan berbagai macam problem yang merintangi, pemilu berhasil diselenggarakan. PNI keluar sebagai peraih suara terbanyak dengan 8.434.653 suara untuk Parlemen dan 9.070.218 untuk Konstituante. Kemenangan PNI disusul oleh Masyumi, Nahdlatul Ulama dan PKI. Sementara itu PSI sebagai partai yang populer di lingkungan intelektual, harus puas berada di posisi ke-8 dengan perolehan suara 753.191 untuk Parlemen dan 544.803 untuk Konstituante.

 

Penyelenggaraan Pemilu 1955 menelan biaya Rp 479.891.729. Angka itu dikeluarkan untuk membiayai perlengkapan teknis pemilihan seperti pembuatan kotak suara dan honorarium panitia penyelenggara Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya terlampau mahal. Salah satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah kelambanan unit-unit kerja panitia Pemilu yang pada akhirnya menambah beban biaya.

 

Pada 26 Maret 1956, sebagai hasil dari Pemilu, dibentuklah Parlemen yang kemudian diikuti pembentukan Konstituante pada 10 November. Parlemen baru itu terdiri dari wakil-wakil 28 partai peserta Pemilu, organisasi dan perkumpulan pemilih yang dibagi ke dalam 17 fraksi atau kelompok parlemen.  Harapan pembaruan wajah parlemen terpenuhi dengan tampilnya politisi-politisi baru yang sebelumnya tidak pernah duduk di Parlemen lama.

 

Kesuksesan menyelenggarakan Pemilu yang jujur dan adil, terlebih di saat negeri ini baru saja merdeka dan sebagian besar panitia penyelenggaranya buta huruf, dianggap sebagai pencapaian besar bangsa Indonesia dalam berdemokrasi.(Bonie Triyana)

 

 

Selembar foto hitam-putih memerlihatkan deretan orang yang antre di depan bilik suara. Salah seorang di antaranya tampak lebih menonjol: ia berkopiah, berkacamata dan bertubuh lebih tinggi dari yang lain. Dialah Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama yang juga sedang menunggu giliran masuk kamar.

 

Foto tersebut, dengan deretan antrean yang mengular,  menunjukan antusias rakyat terhadap pesta demokrasi pertama yang diselenggarakan setelah Indonesia merdeka. Ada 29 partai politik dan individu yang menjadi peserta pemilihan umum. Sementara itu hak memilih diberikan bagi seluruh warga negara Indonesia berusia di atas 18 tahun atau paling tidak sudah kawin.

 

Inilah pemilihan umum  pertama yang diadakan secara nasional, setelah pengalaman yang minim pada pemilihan umum propinsi dan kotapraja di era kolonial. Sebelum Perang Dunia Kedua meletus, pemerintah kolonial Belanda menyelenggarakan pemilihan anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang sama sekali tidak memberikan pengalaman demokrasi buat para penyelenggara republik yang baru ini. Walau miskin pengalaman, hajatan nasional 1955 itu sukses besar. Di sanjung para petinggi dunia.

 

Sesungguhnya pemilihan umum ini sudah direncanakan sejak dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Pada 5 Oktober 1945 pemerintah mengumumkan tentang rencana pelaksanaan Pemilu, dan pada 1946 Pemilu sempat diselenggarakan di Karesidenan Kediri dan Surakarta.

 

Agresi militer Belanda, iklim politik yang panas dingin  pada masa revolusi dan penyelesaian terhadap agresi militer Belanda yang bertele-tele menyebabkan pemilu terus tertunda. Perhatian para pemimpin republik terfokus pada menyelesaikan sengketa dengan Belanda di meja perundingan.

 

Menyusul hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, Indonesia menjadi negara yang berdaulat sepenuhnya. Bentuk federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang menjadi salah satu kesepakatan KMB tidak berumur panjang. Negara-negara federal bikinan Belanda pada akhirnya mau tak mau mengikuti kehendak umum  kelompok nasionalis. Maka  meleburkan Negara-negara federasi itu ke dalam negara kesatuan.

 

Sejak 1950 berbagai kabinet yang silih berganti memerintah gagal memenuhi janjinya untuk menyelenggarakan Pemilu. Pertikaian militer versus sipil pada peristiwa 17 Oktober 1952 menmbuat situasi politik dalam negeri terus mendidih. Kabinet koalisi PNI-Masjumi-PSI yang dipimpin Wilopo sebetulnya sudah goyah dengan berbagai persoalan politik yang terjadi baik di dalam maupun di luar parlemen. Tuntutan pembubaran parlemen oleh sekelompok militer dalam peristiwa 17 Oktober 1952 yang kemudian ditolak oleh Presiden Soekarno, perlahan beralih menjadi isu penyelenggaraan pemilu.

 

Pada November 1952 Kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-undang pemilihan umum baru. Dia mendapat sokongan dari beberapa kalangan, termasuk mereka yang terkenal vokal dan aktif secara politis. Undang-undang pemilihan umum ini meniru apa yang telah dilakukan di India pada 1951-1952. Sistem perwakilan proporsional diajukan kepada parlemen dan disetujui secara aklamasi. Undang-undang tersebut membagi Indonesia ke dalam 16 daerah pemilihan. Pendaftaran pemilih mulai dilaksanakan pada Mei 1954 dan baru selesai pada November. Ada 43.104.464 pemilih yang memenuhi syarat masuk bilik suara.

 

Kabinet Wilopo berakhir dan digantikan oleh Ali Sastroamidjojo. Namun belum lagi Pemilu diselenggarakan, krisis politik mendera Kabinet Ali Sastroamidjojo yang membuatnya terpental jatuh. Kabinet Ali Sastroamidjojo digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dari Masjumi. Pemilu baru berhasil diselenggarakan di bawah pemerintahan Burhanuddin Harahap.

 

Menurut George McTurnan Kahin, pemilu 1955 tersebut begitu penting sebab dengan itu kekuatan partai-partai politik terukur lebih cermat dan parlemen yang dihasilkan lebih bermutu sebagai lembaga perwakilan. Sebelum pemilu, parlemen selalu menjadi sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan suksesnya pemilu karena kabinet berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai persoalan.

 

Karena belum ada lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke tingkat desa. Di banyak pedesaan petugas pemilihan umum dipercayakan kepada panitia-panitia yang malahan sama sekali tak bisa membaca.

 

Dalam waktu-waktu terakhir menjelang pelaksanaan Pemilu, panitia disibukkan dengan pelatihan pemungutan suara di seluruh wilayah pemilihan. Penduduk juga diajak terlibat aktif di dalam persiapan kegiatan pemilu. Mereka diperkenalkan dengan tanda gambar dan cara menyoblos kertas suara.

 

Partai-partai berjuang untuk merebut simpati rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk menentukan pilihannya.

 

Dengan berbagai macam problem yang merintangi, pemilu berhasil diselenggarakan. PNI keluar sebagai peraih suara terbanyak dengan 8.434.653 suara untuk Parlemen dan 9.070.218 untuk Konstituante. Kemenangan PNI disusul oleh Masyumi, Nahdlatul Ulama dan PKI. Sementara itu PSI sebagai partai yang populer di lingkungan intelektual, harus puas berada di posisi ke-8 dengan perolehan suara 753.191 untuk Parlemen dan 544.803 untuk Konstituante.

 

Penyelenggaraan Pemilu 1955 menelan biaya Rp 479.891.729. Angka itu dikeluarkan untuk membiayai perlengkapan teknis pemilihan seperti pembuatan kotak suara dan honorarium panitia penyelenggara Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya terlampau mahal. Salah satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah kelambanan unit-unit kerja panitia Pemilu yang pada akhirnya menambah beban biaya.

 

Pada 26 Maret 1956, sebagai hasil dari Pemilu, dibentuklah Parlemen yang kemudian diikuti pembentukan Konstituante pada 10 November. Parlemen baru itu terdiri dari wakil-wakil 28 partai peserta Pemilu, organisasi dan perkumpulan pemilih yang dibagi ke dalam 17 fraksi atau kelompok parlemen.  Harapan pembaruan wajah parlemen terpenuhi dengan tampilnya politisi-politisi baru yang sebelumnya tidak pernah duduk di Parlemen lama.

 

Kesuksesan menyelenggarakan Pemilu yang jujur dan adil, terlebih di saat negeri ini baru saja merdeka dan sebagian besar panitia penyelenggaranya buta huruf, dianggap sebagai pencapaian besar bangsa Indonesia dalam berdemokrasi.(Bonie Triyana)

 

 

Selembar foto hitam-putih memerlihatkan deretan orang yang antre di depan bilik suara. Salah seorang di antaranya tampak lebih menonjol: ia berkopiah, berkacamata dan bertubuh lebih tinggi dari yang lain. Dialah Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama yang juga sedang menunggu giliran masuk kamar.

 

Foto tersebut, dengan deretan antrean yang mengular,  menunjukan antusias rakyat terhadap pesta demokrasi pertama yang diselenggarakan setelah Indonesia merdeka. Ada 29 partai politik dan individu yang menjadi peserta pemilihan umum. Sementara itu hak memilih diberikan bagi seluruh warga negara Indonesia berusia di atas 18 tahun atau paling tidak sudah kawin.

 

Inilah pemilihan umum  pertama yang diadakan secara nasional, setelah pengalaman yang minim pada pemilihan umum propinsi dan kotapraja di era kolonial. Sebelum Perang Dunia Kedua meletus, pemerintah kolonial Belanda menyelenggarakan pemilihan anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang sama sekali tidak memberikan pengalaman demokrasi buat para penyelenggara republik yang baru ini. Walau miskin pengalaman, hajatan nasional 1955 itu sukses besar. Di sanjung para petinggi dunia.

 

Sesungguhnya pemilihan umum ini sudah direncanakan sejak dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Pada 5 Oktober 1945 pemerintah mengumumkan tentang rencana pelaksanaan Pemilu, dan pada 1946 Pemilu sempat diselenggarakan di Karesidenan Kediri dan Surakarta.

 

Agresi militer Belanda, iklim politik yang panas dingin  pada masa revolusi dan penyelesaian terhadap agresi militer Belanda yang bertele-tele menyebabkan pemilu terus tertunda. Perhatian para pemimpin republik terfokus pada menyelesaikan sengketa dengan Belanda di meja perundingan.

 

Menyusul hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, Indonesia menjadi negara yang berdaulat sepenuhnya. Bentuk federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang menjadi salah satu kesepakatan KMB tidak berumur panjang. Negara-negara federal bikinan Belanda pada akhirnya mau tak mau mengikuti kehendak umum  kelompok nasionalis. Maka  meleburkan Negara-negara federasi itu ke dalam negara kesatuan.

 

Sejak 1950 berbagai kabinet yang silih berganti memerintah gagal memenuhi janjinya untuk menyelenggarakan Pemilu. Pertikaian militer versus sipil pada peristiwa 17 Oktober 1952 menmbuat situasi politik dalam negeri terus mendidih. Kabinet koalisi PNI-Masjumi-PSI yang dipimpin Wilopo sebetulnya sudah goyah dengan berbagai persoalan politik yang terjadi baik di dalam maupun di luar parlemen. Tuntutan pembubaran parlemen oleh sekelompok militer dalam peristiwa 17 Oktober 1952 yang kemudian ditolak oleh Presiden Soekarno, perlahan beralih menjadi isu penyelenggaraan pemilu.

 

Pada November 1952 Kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-undang pemilihan umum baru. Dia mendapat sokongan dari beberapa kalangan, termasuk mereka yang terkenal vokal dan aktif secara politis. Undang-undang pemilihan umum ini meniru apa yang telah dilakukan di India pada 1951-1952. Sistem perwakilan proporsional diajukan kepada parlemen dan disetujui secara aklamasi. Undang-undang tersebut membagi Indonesia ke dalam 16 daerah pemilihan. Pendaftaran pemilih mulai dilaksanakan pada Mei 1954 dan baru selesai pada November. Ada 43.104.464 pemilih yang memenuhi syarat masuk bilik suara.

 

Kabinet Wilopo berakhir dan digantikan oleh Ali Sastroamidjojo. Namun belum lagi Pemilu diselenggarakan, krisis politik mendera Kabinet Ali Sastroamidjojo yang membuatnya terpental jatuh. Kabinet Ali Sastroamidjojo digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dari Masjumi. Pemilu baru berhasil diselenggarakan di bawah pemerintahan Burhanuddin Harahap.

 

Menurut George McTurnan Kahin, pemilu 1955 tersebut begitu penting sebab dengan itu kekuatan partai-partai politik terukur lebih cermat dan parlemen yang dihasilkan lebih bermutu sebagai lembaga perwakilan. Sebelum pemilu, parlemen selalu menjadi sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan suksesnya pemilu karena kabinet berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai persoalan.

 

Karena belum ada lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke tingkat desa. Di banyak pedesaan petugas pemilihan umum dipercayakan kepada panitia-panitia yang malahan sama sekali tak bisa membaca.

 

Dalam waktu-waktu terakhir menjelang pelaksanaan Pemilu, panitia disibukkan dengan pelatihan pemungutan suara di seluruh wilayah pemilihan. Penduduk juga diajak terlibat aktif di dalam persiapan kegiatan pemilu. Mereka diperkenalkan dengan tanda gambar dan cara menyoblos kertas suara.

 

Partai-partai berjuang untuk merebut simpati rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk menentukan pilihannya.

 

Dengan berbagai macam problem yang merintangi, pemilu berhasil diselenggarakan. PNI keluar sebagai peraih suara terbanyak dengan 8.434.653 suara untuk Parlemen dan 9.070.218 untuk Konstituante. Kemenangan PNI disusul oleh Masyumi, Nahdlatul Ulama dan PKI. Sementara itu PSI sebagai partai yang populer di lingkungan intelektual, harus puas berada di posisi ke-8 dengan perolehan suara 753.191 untuk Parlemen dan 544.803 untuk Konstituante.

 

Penyelenggaraan Pemilu 1955 menelan biaya Rp 479.891.729. Angka itu dikeluarkan untuk membiayai perlengkapan teknis pemilihan seperti pembuatan kotak suara dan honorarium panitia penyelenggara Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya terlampau mahal. Salah satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah kelambanan unit-unit kerja panitia Pemilu yang pada akhirnya menambah beban biaya.

 

Pada 26 Maret 1956, sebagai hasil dari Pemilu, dibentuklah Parlemen yang kemudian diikuti pembentukan Konstituante pada 10 November. Parlemen baru itu terdiri dari wakil-wakil 28 partai peserta Pemilu, organisasi dan perkumpulan pemilih yang dibagi ke dalam 17 fraksi atau kelompok parlemen.  Harapan pembaruan wajah parlemen terpenuhi dengan tampilnya politisi-politisi baru yang sebelumnya tidak pernah duduk di Parlemen lama.

 

Kesuksesan menyelenggarakan Pemilu yang jujur dan adil, terlebih di saat negeri ini baru saja merdeka dan sebagian besar panitia penyelenggaranya buta huruf, dianggap sebagai pencapaian besar bangsa Indonesia dalam berdemokrasi.(Bonie Triyana)

 

 

 

 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya